Penggabungankeempat partai keagamaan tersebut bertujuan untuk penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia dalam menghadapi Pemilihan Umum pertama pada masa Orde Baru tahun 1973. Jabatan ketua umum pada awalnya berbentuk presidium yang terdiri dari KH Idham Chalid sebagai Presiden Partai serta Mohammad Syafa'at Mintaredja, Thayeb Mohammad
Penyederhanaan Partai Politik Pada Masa Orde Baru – Dalam organisasi politik di Indonesia, dua partai yang muncul dari penyederhanaan partai pada masa Orde Baru adalah PDI dan PDI. Keduanya merupakan peleburan dari beberapa organisasi politik yang sudah ada atau peleburan partai politik merupakan kebijakan Presiden Soeharto untuk menjadi pemimpin orde baru guna mencapai stabilitas politik dalam negara dan kehidupan di bawah Orde Baru hanya tiga partai politik yang berpartisipasi dan berhak mengikuti pemilu setiap 5 tahun sekali. Akhirnya orde baru mulai runtuh dan partai politik baru bermunculan di Indonesia. Jadi dua partai yang muncul dari penyederhanaan partai pada masa Orde Baru adalah PP dan Konsep Masa Orde BaruOrde baru berkuasa setelah berakhirnya orde lama Presiden Soeharto atau Presiden Soekarno. Ini direkam pada 11 Maret 1966 dengan diluncurkannya Baru sendiri berlangsung antara tahun 1966 hingga 1998. Meski diwarnai dengan tingkat korupsi yang cukup tinggi, perekonomian Orde Baru dinilai sangat periode ini, keterlibatan organisasi politik sebenarnya sangat terbatas, karena hanya 3 partai politik yang mengikuti pemilu. Selain itu, Partai Komunis juga dibubarkan dan dilarang masa awal Orde Baru, keadaan ekonomi Indonesia masih labil. Inflasi yang tinggi juga menjadi masalah dan sangat menghambat pertumbuhan Sejarah Masa Orde BaruSituasi ini mendorong pemerintah Soekarno membuat program Repelita jangka pendek. Program tersebut bertujuan untuk mengendalikan inflasi dan meningkatkan produksi dalam masa Orde Baru, hanya 3 partai politik yang mengikuti pemilihan umum. Dua di antaranya terbentuk dari proses merger beberapa mantan partai politik partai yang muncul dari penyederhanaan partai pada masa Orde Baru adalah Partai Demokrasi Indonesia PDI yang dibentuk dari penggabungan PNI, Partai Katolik, IPKI, Parkindo dan Partai Jama. Merupakan gabungan dari PSII, Parmusi, NU dan itu, ada Golonggan Kariya Golkar yang menjadi organisasi politik pada masa Orde Baru dan dianggap sebagai wadah bagi orang-orang yang memiliki karya petani, tentara, seniman, dll.Partai Golongan Karya partai GolkarGolkar didirikan pada tahun 1964 bukan merupakan penggabungan organisasi politik seperti PDI dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Organisasi ini menjadi mesin politik Presiden Soeharto dalam setiap adanya dua partai yang muncul dari penyederhanaan partai pada masa Orde Baru, PDI dan I Sendiri, persaingan antar partai politik dalam pemilu kurang intens dan cenderung lebih hanya tiga partai politik pada pemerintahan Orde Baru 1955-1959 diakibatkan oleh kegagalan penyelenggara. Hal ini disampaikan Presiden Soeharto kepada para ketua partai politik saat menilai terlalu banyak partai politik atau organisasi politik hanya akan menciptakan perdebatan yang sia-sia. Oleh karena itu, partai politik dari sembilan menjadi tiga harus Penyederhanaan Partai Politik Era Orde BaruDua partai yang muncul dari penyederhanaan partai pada masa Orde Baru adalah PDI, penggabungan PNI, Partai Katolik, Parkindo dan IPKI. Selain itu, ada gabungan dari PSII, NU, PERTI dan penggabungan berlangsung pada tahun 1973 atau dua tahun setelah gagasan penggabungan partai politik diajukan. Setelah itu, tiga partai politik resmi mengikuti pemilu pertama tahun itu, nama partai politik tidak boleh hanya menggunakan atribut agama atau kelompok tertentu. Berikut dasar penamaan pada era Orde Baru, PDI dan .Enam pemilihan dicatat di bawah Suharto. 5 diantaranya hanya diikuti oleh 3 partai politik. Ini merupakan ciri khas masa orde baru dibandingkan sebelum dan sesudah Kecurangan Pemilu Di Indonesia Dipegang Oleh Orde BaruPemilihan diadakan pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Khusus untuk Pemilu 1971, masih terdapat 10 partai politik dengan jumlah pemilih yang pelaksanaannya, Golkar selalu memenangkan pemilu, sehingga Presiden Soeharto terpilih menjadi presiden sebanyak 6 kali. Kemenangan ini seakan mengecilkan Indonesia menjadi hanya satu partai politik, satu faktor yang dapat mengontrol arah politik Orde Baru adalah adanya dua partai hasil penyederhanaan partai-partai pada era Orde Baru. Suara lembaga negara juga ditujukan pada Golkar Orde Baru berakhir setelah krisis politik dan ekonomi tahun 1997-1998. Peristiwa ini juga memicu gerakan massa yang terdiri dari berbagai kalangan, termasuk Sejarah Kelas 12 Masa Orde Baru Di IndonesiaPasca runtuhnya era Orde Baru, partai-partai politik baru mulai bermunculan dan menganjurkan demokrasi yang lebih terbuka. Awal era baru demokrasi di Indonesia disebut juga dengan kedua partai tersebut disederhanakan pada masa Orde Baru, hal tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah Orde Baru untuk menjalankan kekuasaannya. Dan PDI tetap bertahan dan tidak terpecah itu, Presiden Habibie Suharto yang sebelumnya Wakil Presiden otomatis diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia. Dari sinilah, berbagai perubahan pasca reformasi mulai itu, peran MPR dan DPR juga mulai kembali pada peran semestinya. Banyak partai politik juga berpartisipasi dalam pemilihan berikutnya, serta kursi yang dialokasikan di Sistem Dan Struktur Politik Dan Ekonomi Masa Orde Baru 1966 19982Untuk mempertahankan kekuasaan, pemerintah Orde Baru mengurangi jumlah partai politik menjadi hanya 3 saja. Transisi dari Soekarno ke Suharto bukanlah proses yang mulus, dengan PDI bipartisan dan pergantian kepemimpinan akibat penyederhanaan partai selama era Orde Baru. 1965-1967 adalah tahun-tahun yang menarik dan menegangkan secara politik. Peristiwa yang terjadi pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965 dapat digambarkan sebagai kegagalan kelompok kontra-revolusioner yang menamakan dirinya Operasi 30 Jenderal Suharto sejak peristiwa 30 September 1965 hingga pengangkatannya sebagai presiden sementara tahun 1967 merupakan sebuah revolusi politik. Proses perubahan politik tidak langsung terjadi, tetapi lambat. Bahkan setelah peralihan kekuasaan, Sukarno masih memegang kursi kepresidenan. Inilah dualitas kepemimpinan yang terjadi pada masa peralihan dari Soekarno ke 30 September 1965 menandai awal jatuhnya Soekarno dari kancah politik Indonesia. Peristiwa tersebut masih menyimpan misteri tentang pelaku dan pihak yang sebenarnya dipersalahkan, namun titik tolak inilah yang kemudian melahirkan berbagai wawasan dan penelitian terkait jatuhnya Presiden Soekarno antara tahun 1965 dan 1967. Jatuhnya Soekarno dari kursi kepresidenan menciptakan pemerintahan baru dengan semangat melestarikan Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsisten. Tekad ini dikenal dengan Orde Baru dan melahirkan kepemimpinan baru, atau peristiwa individual yang menjadi titik tolak peralihan dari Soekarno ke Soeharto, yang tersebar di masyarakat selama 32 tahun rezim Orde Baru, cenderung bersifat menghakimi dan melekat. Selain itu, banyak sekali bahan sejarah dan saksi mata yang akhirnya memunculkan berbagai pendapat. Apalagi dalam kasus peralihan kekuasaan negara dari Sukarno ke Soeharto, Soeharto diduga melakukan kudeta terhadap Dinamika Politik Dan Hubungan Internasional Indonesia Di Masa Orde BaruPasca penyerahan Surat Perintah 11 Maret Supersemar/SP 11 Maret 1966, ternyata Soeharto dimanfaatkan sebagai pemegang surat sakti dengan membuat kebijakan dan keputusan politik seperti pembubaran Partai Komunis Indonesia. PKI dan LSM-LSMnya. Walaupun deklarasi Supersemar lebih menekankan pada penyerahan kekuasaan militer dalam arti menjamin kekuasaan pemerintah, bukan penyerahan kekuasaan politik. Supercar itu bukan pengalihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Soeharto. Peristiwa ini menunjukkan perubahan politik bertahap selama peralihan kekuasaan dari Sukarno ke dari semua persoalan itu memuncak pada Sidang Istimewa MPRS. Pada 23 Februari 1967, Soekarno secara resmi menyerahkan kekuasaan kepada supercarrier. Demikian dalam Sidang MPRS tanggal 7-12 Maret 1967Pidato Navaksara dan lampirannya tidak memenuhi harapan rakyat, karena gerakan 30 September tidak jelas. Presiden mengizinkan supercarrier itu. Presiden telah menerapkan kebijakan yang secara tidak langsung menguntungkan gerakan 30 SeptemberPada tanggal 12 Maret 1967, Soeharto akhirnya dilantik sebagai Presiden kedua Republik Indonesia melalui keputusan MPRS. XXXIII/MPRS/ Yuridis Penyederhanaan Partai Politik Menuju Sistem Multipartai Sederhana Guna Memperkuat Stabilitas Dan Efektivitas Implementasi Kebijakan Pemerintah IndonesiaOrde Baru di bawah Suharto berlangsung selama 32 tahun. Selama 32 tahun karir kepemimpinannya, banyak kebijakan yang berdampak signifikan terhadap proses pemerintahan negara Indonesia. Dimulai dengan kebijakan politik atau kebijakan ekonomi. Kebijakan politik yang digunakan terbagi atas kebijakan dalam negeri dan luar negeri. Setiap kebijakan dibuat sesuai dengan kebutuhan negara. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat adalah kebijakan yang bermanfaat dan mengedepankan kepentingan yang dijadwalkan pada tahun 1971 dengan SI MPR pada tahun 1967 berbeda dengan pemilu orde revolusi 1955 atau orde lama. Dalam pemilihan ini, pejabat pemerintah berpihak pada Golkar yang hanya menjadi salah satu kandidat. Maka Golkarlah yang selalu memenangkan pemilu pada tahun-tahun berikutnya, yakni 1977, 1982, 1987, 1992, 1992 hingga Ganda ABRI Peran ganda ABRI sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial politik. Peran ABRI sebagai kekuatan sosial politik ditugaskan untuk berperan aktif dalam pembangunan nasional. ABRI juga memiliki wakil di MPR yang disebut Fraksi ABRI, sehingga posisinya di era Orde Baru sangat Memahami dan Mengamalkan Pancasila P-4 atau Ekaprasetia Pancakarsa bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang Pancasila kepada seluruh lapisan masyarakat. Semua organisasi tidak boleh menggunakan ideologi selain Pancasila, dan pelatihan P4 dilakukan bahkan untuk Nurhaliza Xii Mipa 3 Kehidupan Politik Dan Ekonomi Masa Orde BaruKetika Indonesia keluar dari PBB pada 7 Agustus 1965, Indonesia terputus dari hubungan internasional sehingga membuat Indonesia sulit dalam ekonomi dan politik dunia. Situasi ini kemudian mengembalikan Indonesia ke keanggotaan PBB berdasarkan hasil konferensi Korea Utara. Dengan demikian, pada tanggal 28 September 1966, Indonesia resmi menjadi anggota aktif Perserikatan tahun 1965, terjadi perselisihan antara Indonesia dengan Malaysia dan Singapura. Sebuah kesepakatan ditandatangani pada 11 Agustus antara Indonesia yang diwakili oleh Adam Malik dan Malaysia yang diwakili oleh Tun Abdul Razak untuk memulihkan dan meningkatkan hubungan diplomatik.
Duapartai hasil penyederhanaan partai pada masa orde baru adalah? PPP dan PDI; Golkar dan PDI; PDI dan Masyumi; PPP dan PNI; Kunci jawabannya adalah: A. PPP dan PDI. Dilansir dari Encyclopedia Britannica, dua partai hasil penyederhanaan partai pada masa orde baru adalah ppp dan pdi.
Kalau pada postingan sebelumnya admin membahas soal un fisika maka kali ini admin akan memposting mengenai Soal Sejarah materi bab Pada Masa Orde Baru dan Jawaban. Silahkan adik-adik pelajari. Semoga membantu dan bermanfaat bagi adik-adik sekalian. 1. Presiden soekarno memberikan tanggung jawab setelah peristiwa G 30 S/PKI di depan MPRS dalam pidato yang berjudul.. a. penemuan kembali revolusi kita b. indonesia menggugat d. tahun penemuan kembali e. membangun dunia kembali 2. Prinsip kerja dari Kabinet Ampera adalah... a. Eka dharma c. Tri Dharma d. Catur Dharma e. Panca Dharma 3. Dua partai hasil penyederhanaan partai pada masa orde baru adalah.. a. PPP dan PNI c. PDI dan Masyumi d. Golkar dan PPP e. Golkar dan PDI 4. Salah satu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah orde baru dalam mengekang kebebasan pers adalah.. b. penangkapan terhadap wartawan c. pembubaran aliansi jurnalis d. mempersulit pendirian stasiun televisi swasta e. penyaringan berita 5. Pada tanggal 12 Maret 1966, PKI dan ormas ormasnya dibubarkan dengan alasan... a. PKI berideologi komunis b. PKI telah melakukan aksi fitnah terhadap ABRI c. PKI selalu meresahkan masyarakat e. PKI tidak mendukung pemerintahan Presiden Soekarno 6. Sesaat setelah mengemban Supersemar, Letjen Soeharto mengamankan sejumlah menteri yang dianggap terlibat G 30 S/PKI selanjutnya menyusun kabinet....menggantikan kabinet.. a. Dwikora, Ampera b. Dwikora, Pembangunan I d. Ampera, Pembangunan I e. Gotong royong, Ampera 7. Para pelajar dan mahasiswa adalah kelompok yang kritis terhadap pemerintahan. pada akhir masa pemerintahan Presiden Soekarno, pelajar dan mahasiswa membentuk berbagai kesatuan aksi. berbagai kesatuan aksi tersebut menyerukan tritura yang salah satu isinya adalah... a. bubarkan Kabinet Dwikora b. turunkan presiden Soekarno c. tolak kenaikan harga BBM e. adili para tokoh PKI 8. semangat yang menjiwai kelahiran orde baru pada awalnya adalah... a. menggalakan pembangunan nasional yang menguntungkan konglomerat b. menghasilkan undang-undang yang membatasi gerak partai politik c. melanggengkan kekuasaan Soeharto sebagai Presiden RI d. anti korupsi, kolusi dan nepotisme e. koreksi menyeluruh terhadap berbagai penyimpangan orde lama 9. Tujuan dibentuknya IGGI adalah memberikan bantuan kredit kepada... Indonesia 10. Upaya peningkatan hasil pertanian seperti REvolusi Hijau harus disertai dengan tanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan alam. Revolusi Hijau di Indonesia dilaksanakan melalui program... panca usaha tani 11. Cermati pernyataan berikut ini! penolakan terhadap pidato presiden soekarno berjudul nawaksara pemberontakan G 30 S/PKI pembubaran PKI Dikeluarkannya supersemar urutan peristiwa menjelang runtuhnya orde lama yang benar adalah... 2, 1, 4, dan 3 12. Perhatikan nama-nama partai politik berikut dengan saksama! Perti NU PNI Golkar IPKI Murba Tiga besar partai pemenang pemilu 1971 berdasarkan jumlah perolehan suara terbanyak yaitu... Golkar, NU, PNI 13. munculnya dualisme kepemimpinan nasional soekarno-soeharto, setelah peristiwa... Pembentukan kabinet Ampera 14. kehidupan pers pada masa orde baru dapat digambarkan sebagai berikut... terjadi pengekangan pers 15. perhatikan data berikut dengan cermat! terciptanya stabilitas keamanan adanya kebebasan pers HAM terjamin swasembada pangan pemerataan pembangunan di semua daerah keberhasilan yang dicapai oleh pemerintah orde baru adaalah... 1 dan 4 16. faktor ekonomi yang mendorong lahirnya orde baru, yaitu... merosotkan ekonomi indonesia sebagai sistem etatisme 17. akibat negatif sentralisasi kekuasaan di masa orde baru dalam hal hubungan pusat dan daerah adalah... pemberontakan atau pembangkangan 18. pada masa orde baru, kehakiman dalam praktiknya berada di bawah eksekutif berarti telah melanggar... pasal 24 UUD 1945 19. PKI pasca kegagalan pemberontakannya di madiun menjadi slaah satu pemenang dalam pemilu 1955. faktor penyebabnya adalah... PKI berhasil mendekati Soekarno 20. berikut ini yang tidak menunjukkan karekteristik pemerintahan pada masa orde baru adaalah... Menggunakan prinsip-prinsip demokratis 21. Integrasi sangat diperlukan dalam proses pembangunan dan perjuangan bangsa sebab... integrasi memperkuat kemampuan untuk kemakmuran 22. indonesia melaksanakan politik luar negri bebas - aktif disebabkan oleh... upaya indonesia untuk turut serta di dalam menjaga perdamaian dunia 23. keberhasilan pembangunan pada masa orde baru banyak di anggap hal yang semu. hal ini terbukti dengan... modal pembangunan bersal dari hutang luar negri 24. menurut pendapat kalian, dampak positif dari masuknya kembali indonesia kedalam organisasi PBB pada masa orde baru adalah... indonesia tidak lagi terkucil dalam pergaulan internasional 25. hal yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi pada masa orde baru adalah.. menjaga kestabilan harga dan pengadaan sembilan bahan pokok 26. pemilu umum yang dilaksanakan pada tahun 1971 merupakan bukti bahwa... bangsa indonesia telah meluruskan pelaksanaan pemerintahan demokrasi 27. keberhasilan-keberhasilan yang dilakukan oleh orde baru belum mencakup seluruh dari trilogi pembangunan. alasannya adalah... belum terciptanya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya 28. keyakinan akan keterlibatan PKI dalam G 30 S/PKI yang menewaskan sejumlah pemimpin senior Angkatan Darat telah mendorong diambilnya tindakan-tindakan yang membuat partai tersebut menjadi tidak efektif lagi. dalam hal itu, tindakan yang di ambil terhadap PKI adalah.. PKI dihancurkan secara ideologis, organisasional. sosiologis, maupun hukum 29. pemerintah orde baru berusaha memperbaiki kehidupan bangsa indonesia di segala bidang. langkah pertama yang diambil dalam memperbaiki kehidupan ekonomi adalah... stabilisasi nasional dan rehabilitasi ekonomi 30. dalam masalah Timor-Timur pemerintah RI mengambil kebijakan yaitu pemberian otonomi yang luas. apabila hal ini di tolak oleh rakyat Timor-Timur maka alternatif yang kedua adalah... melepaskan sebagai negara yang merdeka
PenyederhanaanPartai Politik Pada masa Orde Baru, pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan (fusi) partai-partai politik menjadi tiga kekuatan sosial politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut didasarkan pada persamaan program. Tiga partai berdasarkan kekuatan sosial politik itu adalah sebagai berikut.

PembahasanPenyederhanaan partai politik merupakan kebijakan yang dilakukan dengan menggabungkan atau mengelompokan partai-partai politik. Penyederhanaan partai politik ini menghasilkan dua partai besar dan satu golongan karya yang terdiri dari Partai Persatuan Pembangunan PPP gabungan dari Nahdlatul Ulama, Parmusi, Perti, PSII; Partai Demokrasi Indonesia gabungan dari Partai Nasional Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, Parkindo; Golongan Karya Golkar. Penyederhanaan partai politik merupakan kebijakan yang dilakukan dengan menggabungkan atau mengelompokan partai-partai politik. Penyederhanaan partai politik ini menghasilkan dua partai besar dan satu golongan karya yang terdiri dari Partai Persatuan Pembangunan PPP gabungan dari Nahdlatul Ulama, Parmusi, Perti, PSII; Partai Demokrasi Indonesia gabungan dari Partai Nasional Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, Parkindo; Golongan Karya Golkar.

Duapartai hasil penyederhanaan partai pada masa orde baru adalah - 7839714 feriska3 feriska3 12.10.2016 IPS Sekolah Menengah Pertama terjawab • terverifikasi oleh ahli Dua partai hasil penyederhanaan partai pada masa orde baru adalah 1 Lihat jawaban Iklan Iklan Orde Baru,Partai Politik,PPP,PDI,Golkar. Iklan Iklan A. Sejarah Berdirinya Partai GOLKAR Golongan Karya B. Partai GOLKAR Golongan Karya Pada Masa Orde Baru C. Koalisi Partai PDI Pada Masa Orde Baru F. Sejarah Berdirinya Partai PPP Partai Persatuan PembangunanRelated posts A. Sejarah Berdirinya Partai GOLKAR Golongan Karya Partai Golongan Karya GOLKAR sebelumnya bernama Golongan Karya Golkar dan Sekretariat Bersama Golongan Karya Sekber Golkar, adalah sebuah partai politik di Indonesia. Partai GOLKAR bermula dengan berdirinya Sekber GOLKAR di masa-masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno, tepatnya 1964 oleh Angkatan Darat untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia dalam kehidupan politik. Pada awal pertumbuhannya, Sekber GOLKAR beranggotakan 61 organisasi fungsional yang kemudian berkembang menjadi 291 organisasi fungsional. Ini terjadi karena adanya kesamaan visi diantara masing-masing anggota. Organisasi-organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber GOLKAR ini kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke dalam 7 tujuh Kelompok Induk Organisasi KINO, yaitu Koperasi Serbaguna Gotong Royong KOSGORO Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia SOKSI Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong MKGR Organisasi Profesi Ormas Pertahanan Keamanan HANKAM Gerakan Karya Rakyat Indonesia GAKARI Gerakan Pembangunan Dalam perkembangannya, Sekber GOLKAR berubah wujud menjadi Golongan Karya yang menjadi salah satu organisasi peserta Pemilu. B. Partai GOLKAR Golongan Karya Pada Masa Orde Baru Selama masa orde baru Golkar berhasil menjadi kekuatan politik di Indonesia. Dalam fenomena ini dapat dilihat bahwa Soeharto merupakan pilar utama kekuatan Golkar pada saat itu, ditambah birokrasi dan ABRI, terbukti dalam kemenangan Golkar yang selalu tampil menjadi mayoritas tunggal dalam pemilu dan dalam parlemen pada 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Golkar pada masa Orde Baru juga berperan sebagai partai hegemoni yang mempunyai peran yang cukup besar dalam implementasi Pemerintahan daerah berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974. Sejak Golongan Karya Golkar memenangkan Pemilihan Umum tahun 1971 Golkar menjadi pemegang agenda politik secara tunggal di Indonesia. Dari sejak itu pula tercipta apa yang di istilahkan Sistem kepartaian yang Hegemonik Sebagai partai hegemoni, Golkar punya keunikan, yakni bukan partai kader dan partai masa oleh sebab itu dulunya Golkar tidak mau disebut partai. Partai hegemonik tidak diciptakan dan dikembangkan oleh kelompok atau kelas tertentu dalam masyarakat sebagaimana partai masa dan partai kader, tetapi di bangun oleh pemerintah. Partai hegemonik mempunyai faksi-faksi dalam dirinya yang terdiri dari Faksi militer dan birokrasi. Kedua faksi ini secara bersamaan berfungsi sebagai politbiru yang mengontrol kebijakan-kebijakan partai. Posisi Golkar disini memang sebagai alat penopang kekuasaan pemerintahan kala itu. Semua kebijakan Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh militer, birokrasi dan termasuk Golkar. Selama berpuluh-puluh tahun berkuasa, Golkar menduduki jabatan-jabatan penting mulai dari eksekutif, legislatif dan yudikatif termasuk hingga sampai kepada lembaga-lembaga struktur di daerah-daerah. Hal ini sangat wajar karena Golkar sebagai partai hegemoni dan setiap pemilihan di masa Orde Baru Golkar selalu menjadi partai pemenang dalam Pemilihan Umum. Struktur lembaga legislatif yang amat di dominasi Golkar yang hampir tak terpisahkan dari Birokrasi ABRI telah menyebabkan kungkungan birokrasi terhadap lembaga legislatif baik di pusat maupun daerah terlalu kuat untuk dilawan dan diabaikan. Kehadiran Golkar ataupun aparat militer di dalam kelembagaan pemerintah merupakan hasil dari pilihan rakyat, namun demikian tetap saja pilihan tersebut merupakan suatu pilihan yang sebenarnya sudah diatur dengan sedemikian rupa oleh pemerintah yang berkuasa, sehingga Partai Golkar lah yang selalu menang. Sehingga jika dengan dikeluarkannya Undang-Undang Tahun 1974 tentang pelaksanaan daerah akan membuat penyelenggaraan didaerah akan lebih baik dan tidak bersifat sentralistik, hal tersebut tidak akan terealisasi secara maksimal. Hal ini dapat kita lihat dalam struktur-struktur lembaga-lemabaga pemerintahan daerah yang didalamnya masih di dominasi oleh orang-orang dari partai Golkar dan aparat militer Mulai dari DPRD, kepala daerah, wakil hingga sekretaris daerah. Akibatnya fungsionaris- fungsionaris birokrasi ini sukar untuk diharapkan berbeda dengan birokrasi. Dalam masalah pertanggung jawaban dan pelaporan hasil pelaksanaan pemerintahan daerah, semuanya masih harus bergantung dari pemerintah pusat. Jika dari sistem hingga aparat pemerintahannya semua berdasarkan dari pusat maka dalam pelaksanaannya pun tidak akan jauh-jauh sesuai dengan kehendak pemerintah Pusat. Dalam undang-undang Tahun 1974 menetapkan bahwa kepala daerah menurut hierarki bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Kepala daerah tidak bertanggungjawab kepada DPRD melainkan hanya memberikan keterangan pertanggungjawaban atas pelaksanaan pemerintah daerah yang dipimpinnya agar DPRD sebagai salah satu unsur pemerintah daerah dapat selalu mengikuti dan mengawasi jalannya pemerintahan daerah. Dari sini dapat terlihat bahwa meskipun lembaga DPRD ada sebagai wakil rakyat tetap saja tidak mempunyai peranan penting dalam penentuan suatu keputusan. Untuk melihat hasil suatu pelaksanaan pemerintahan saja, DPRD hanya di beri hak untuk meminta keterangan selanjutnya keputusan harus berdasarkan atas persetujuan Presiden melalui Menteri Dalam Negerinya. apalagi dalam Struktur DPR dan DPRD yang terlihat kurang terpisah dengan birokrasi. Prosedur pemilihan anggota-anggota kedua lembaga tersebut di ambil melalui pengajuan daftar nama oleh partai kemudian dihadapkan pula oleh Golkar yang merupakan Partai hegemoni telah menyebabkan lembaga legislatif serta lembaga-lembaga lainnya maupun aparat pemerintahan lainnya Gubernur, Bupati, Sekretaris Daerah dsb. menjadikan kehilangan arti sebagai lembaga perwakilan rakyat dan ataupun aparat yang bekerja untuk rakyat. Semuanya hanya bekerja dan menyelesaikan tanggung jawabnya untuk Presiden. Berdasarkan pemaparan ini dapat di cermati bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru mengenai pelaksanaan undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Otonomi daerah dalam implementasinya masih bersifat sentralistik yakni hanya untuk kepentingan penguasa dan pemerintah Pusat saja. Sepanjang para aparat yang menduduki struktur pemerintahan daerah masih dikuasai oleh Golkar yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah Pusat ataupun Presiden Soeharto, maka tujuan untuk meningkatkan pembangunan daerah dan mengembangkan daerah tidak akan terealisasi secara maksimal. Asas Desentralisasi yang merupakan salah satu asas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ini juga tidak dapat direalisasikan pada akhirnya karena hanya merupakan sebuah tameng saja di dalam undang-undang ini. Golkar yang merupakan partai hegemoni telah membuat suatu perubahan besar yang terjadi dalam pemerintahan orde Baru dan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Adanya tindak kekerasan politik dengan aktor utamanya militer membuat Golkar selalu menang dalam Pemilu, karena penggunaan kekerasan militer di masa Orde Baru ini. merupakan “prosedur tetap” untuk mengendalikan dan memobilisasi masa pemilih guna memenangkan Golkar. Sehingga mau tidak mau rakyat dipaksa untuk memilih Golkar dan menyebabkan para elit Golkar yang terpilih untuk mewakili rakyat dalam menjalankan sistem pemerintahan yang ada termasuk dalam pemerintahan daerah. Alasan Golkar melakukan tindakan seperti itu tidak lain adalah untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, rencana ataupun hasil penyelenggaraan pemerintah daerah harus dapat dipertanggung jawabkan pada Presiden. Sedang di DPRD atau lembaga lainnya hanya diberi hak untuk meminta keterangan. Lagipula meskipun DPRD diberi kekuasaan juga merupakan hal yang sia-sia, toh hampir semua yang menduduki kursi kekuasaan baik eksekutif, yudikatif, ataupun legislatif sebagai representatif rakyat bahkan hingga kepala daerah ataupun orang-orang yang duduk dalam dinas-dinas pemerintahan semuanya mayoritas di duduki oleh para elite Golkar dan militer yang merupakan kepanjangan tangan sang penguasa. Soeharto yang pada akhirnya akan memuluskan permintaan presiden. Disini terlihat bahwa fungsi-fingsi lembaga dalam struktur tersebut terasa hilang. Maka dalam implementasi adanya undang-undang ahun 1974 hanya merupakan alat legitimasi yang sah dalam pelaksanaan sentralisasi. Sentralisasi yang terpusat pada kekuasaan Soeharto. Adanya kekerasan politik dan recruitment politik local tyang dipaksa memilih Golkar membuat masyarakat daerah tetap sama sekali tidak mempunyai peran yang menentukan dalam penyelnggaraan pemerintahan daerahnya sendiri. Hanya dari Golkar bersama aparat militer yang dapat menentukan peranan maupun penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dan terlihat bahwa rakyat tidak mempunyai peluang dalam proses pemilu melainkan hanya sebagi proses pendamping dan dimanfaatkan hak suaranya saja. Adanya pemerintahan yang seperti ini juga mengakibatkan adannya kesenjangan antara daerah pusat dengan daerah-daerah kecil dan yang paling menonjol ialah kesenjangan di tingkat para elit dengan masyarakatnya. C. Koalisi Partai PDI Pada Masa Orde Baru Partai Demokrasi Indonesia itu lahir dari hasil fusi 5 lima partai politik. Kelima partai politik tersebut yaitu 1. Partai Nasional Indonesia PNI PNI didirikan Bung Karno tanggal 4 Juli 1927 di Bandung. Dengan mengusung nilai-nilai dan semangat nasionalisme, PNI kemudian berkembang pesat dalam waktu singkat. Karena dianggap berbahaya oleh penguasa kolonial, tanggal 29 Desember 1929 semua kantor dan rumah pimpinan PNI digeledah. Bung Karno, Maskun, Supriadinata dan gatot mangkupraja ditangkap. Berdasarkan keputusan yang ditetapkan Raad van Justitie tanggal 17 April 1931, mereka dipidana penjara. Keputusan ini diartikan mencap PNI sebagai suatu organisasi yang terlarang. Setelah tanggal 3 November 1945 keluar Maklumat Pemerintah tentang pembentukan Partai Politik. Dengan landasan tersebut, tanggal 29 Januari 1946 di Kediri PNI dibentuk oleh partai-partai yang tergabung dalam Serikat Rakyat Indonesia atau di kenal dengan Serrindo pada waktu itu, PNI Pati, PNI Madiun, PNI Palembang, PNI Sulawesi, kemudian Partai Republik Indonesia Madiun, Partai Kedaulatan Rakyat Yogya, dan ada beberapa lagi partai kecil lainnya yang berada di Kediri. Fusi ini terjadi ketika ada Konggres Serrindo yang pertama di Kediri. Dalam Kongres tersebut PNI dinyatakan memiliki ciri Sosio-Nasionalisne-Demokrasi yang merupakan asas dan cara perjuangan yangdicetuskan Bung Karno untuk menghilangkan kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Pengunaan asas ini diasosiasikan sebagai “kebangkitan kembali PNI 1927” yang pernah didirikan Bung Karno. Ideologi partai ini menggunakan apa yang dikembangkan oleh Bung Karno yaitu Marhaenisme, sebuah istilah yang di bangun atau dipakai oleh beliau ketika beliau melakukan kunjungan ke salah satu daerah di Jawa Barat dan bertemu dengan seorang petani yang namanya Marhaen. PNI merupakan partai pemenang pemilu nomor satu dalam pemilu tahun 1955 dengan komposisi suara kurang lebih 22,3%. Basis sosial dari partai ini pertama-tama adalah masyarakat abangan di Jawa. Kekuatan mobilisasi terletak pada penguasaan atas birokrasi dan yang kedua adalah para pamong praja, lurah dan para kepala desa. Ini menjelaskan kenapa Golkar mengambil alih itu, PNI ambruk secara total. Ketika dukungan cukup merata menyebar di seluruh Indonesia, ketika di beberapa propinsi yang sangat terbatas seperti di Aceh, Sumatra Barat, dimana pendukung PNI itu jumlahnya kurang dari 0,7%. Di kawasan Jawa di bagian sebelah utara Bandung PNI tidak pernah mendapatkan basis dukungan yang kuat. Itu merupakan daerah Islam atau daerah Masyumi. Di Bandung daerah selatan itu merupakan kantong utama. Jawa Tengah adalah kantong-kantong utama, dan kontestan yang paling serius itu datang dari Partai Komunis Indonesia yang berada di beberapa daerah segitiga seperti Jelanggur dan seterusnya. Blitar bagian selatan dan sebagainya. 2. Partai Kristen Indonesia Parkindo Parkindo adalah partai yang didirikan karena ada maklumat pada waktu itu, ia baru berdiri tahun 1945 tepatnya pada tanggal 18 November 1945 yang diketuai Ds Probowinoto. Parkindo merupakan penggabungan dari partai-partai Kristen lokal seperti PARKI Partai Kristen Indonesia di Sumut, PKN Partai Kristen Nasional di Jakarta dan PPM Partai Politik Masehi di Pematang Siantar. 3. Partai Katolik Partai Katolik lahir kembali pada tanggal 12 Desember 1945 dengan nama PKRI Partai Katolik Republik Indonesia merupakan kelanjutan dari atau sempalan dari Katolik Jawi, yang dulunya bergabung dengan partai Katolik. Sebenarnya partai ini pada tahun 1917-an itu sudah ada. Partai ini berdiri pada tahun 1923 di Yogyakarta yang didirikan oleh umat Katolik Jawa yang diketuai oleh Harijadi kemudian diganti oleh Kasimo dengan nama Pakepalan Politik Katolik Djawi PPKD. Pada Pemilu 1971 Partai Katolik meraih suara 1,11% sehingga di DPR mendapat 3 kursi. 4. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia IPKI IPKI atau Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia adalah partai yang didirikan terutama oleh tentara. IPKI sejak lahirnya mencanangkan Pancasila, semangat proklamasi dan UUD 1945 sebagai cirnya. Tokoh dibalik pendirian IPKI adalah AH. Nasution, Kol Gatot Subroto dan Kol Azis Saleh. Kelahirannya didasari oleh UU No. 7 tahun 1953 tentang Pemilu 1955. Dalam pemilu itu anggota ABRI aktif dapat dipilih melalui pemilu dan duduk di Konstituante. IPKI didirikan pada tanggal 20 Mei 1954 kurang lebih satu tahun sebelum pemilu tahun 1955 yang berlangsung bulan September. Waktu itu, Jenderal Besar Nasution yang berpangkat kolonel, terlibat pada peristiwa yang sangat terkenal yaitu peristiwa 27 Oktober. Peristiwa 27 Oktober ini adalah sebuah peristiwa dimana tentara melakukan upaya untuk memaksa Bung Karno membubarkan parlemen. Mereka datang ke istana, gerombolan tentara yang sangat banyak dengan tank, meriam diarahkan ke depan istana, dan meminta kepada Bung Karno untuk membubarkan parlemen, karena parlemen dianggap telah mengintervensi persoalan internal tentara. Nasution dipanggil, usianya baru 33 tahun dan disuruh kembali untuk memikirkan tindakannya, di copot jabatannya, antara Oktober 1952 sampai nantinya dia dikembalikan pada jabatannya pada tahun 1955. Selama tiga tahunan itu Nasution berfikir sangat serius. Bung Karno tidak bisa dilawan. Diantara tahun-tahun inilah Nasution kemudian mendirikan IPKI. Dalam pertemuan sangat tertutup antara wakil IPKI dengan Soeharto pada tahun 1971. Dua tokoh IPKI yang besar atau salah satu tokoh IPKI yang besar, mantan Bupati Madiun, Achmad Sukarmadidjaja almarhum, mengatakan bahwa IPKI tidak mungkin hidup di dalam gerombolan partai-partai yang punya ideologi aneh-aneh dan ingin bergabung dengan golongan karya atau menjadi partai sendiri. Kedekatan dengan Golkar, menjelang Deklarasi PDI 1973 IPKI pernah berpikir untuk bergabung ke Golkar. Tanggal 12 Maret 1970 Presiden Soeharto memberi jawaban atas permintaan Achmad Sukarmadidjaja bahwa IPKI bisa bergabung ke Golkar dengan syarat harus membubarkan diri lebih dahulu. IPKI cukup spesifik dan memiliki dukungan yang konkrit menurut pemilu 1955 kecuali sedikit di Jawa Barat, demikian juga dengan Murba. Hanya memiliki dukungan yang sangat sedikit di Jawa Barat kurang lebih orang. Pada Pemilu 1971 IPKI hanya mampu memperoleh 0,62 % sehingga tidak mendapat satupun kursi di DPR. 5. Murba Murba didirikan pada tanggal 7 November 1948 setelah Tan Malaka keluar dari penjara. Murba adalah gabungan Partai Rakyat, Partai Rakyat Jelata dan Partai Indonesia Buruh Merdeka. Menurut data Kementrian Penerangan RI tentang “Kepartaian di Indonesia” seri Pepora No. 8, Jakarta, 1981, istilah Murba mengacu pada pengertian “golongan rakyat yang terbesar yang tidak mempunyai apa-apa, kecuali otak dan tenaga sendiri”. Asas partai ini antifasisme, anti imperialisme-kapitalisme dengan tujuan akhirnya mewujudkan masyarakat sosialisme. Meski program Murba membela rakyat kecil dan kaum tertindas, dukungan riil rakyat terhadap Murba kurang begitu kuat. Terbukti dalam Pemilu 1971 partai ini tidak memperoleh satu pun kursi di DPR karena hanya mampu meraih suara 0,09 %. D. Sejarah Berdirinya Partai PDI Partai Demokrasi Indonesia Pada tanggal 27 Februari 1970 Soeharto mengundang lima partai politik yang dikategorikan kelompok pertama yaitu PNI Partai Nasiona Indonesia, Parkindo Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, IPKI Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia dan Murba. Ide pengelompokan yang dilontarkan Soeharto menjadi perhatian masyarakat umum dan ditengah-tengah proses pengelompokan tersebut berkembang rumor yang sangat kuat isu pembubaran partai-partai politik jika tidak dicapai kesepakatan untuk mengadakan pengelompokan sampai batas waktu 11 Maret 1971. Pada tanggal 7 Maret 1970 bertempat di ruang kerja Wakil Ketua MPRS, M Siregar, lima tokoh Partai yang hadir yaitu Hardi dan Gde Djakse PNI, Achmad Sukarmadidjaja IPKI, Maruto Nitimihardjo dan Sukarni Murba, VB Da Costa, Lo Ginting dan Harry Tjan Partai Katolik serta M Siregar dan Sabam Sirait Parkindo, mengadakan pertemuan dan pembicaraan mengenai pengelompokan partai. Dalam pertemuan tersebut, muncul kekhawatiran terjadinya polarisasi antara kelompok Islam dan non-Islam, oleh karenanya muncul gagasan sebagai alternatif untuk mengelompokan partai menjadi lima atau empat kelompok yang terdiri dari dua kelompok muslim, satu nasionalis, satu kristen dan satu kelompok karya. Namun pemerintah Orde Baru saat itu tetap menginginkan pengelompokan sesuai yang diajukan sebelumnya hingga akhirnya gagasan yang diusulkan oleh tokoh-tokoh tersebut tidak pernah terwujud. Pada tanggal 9 Maret 1970 pertemuan pimpinan lima partai tersebut berlanjut ditempat yang sama dengan agenda pokok yaitu penyelesaian deklarasi atau pernyataan bersama dan pokok-pokok pikiran selanjutnya. Dalam pertemuan ini berhasil membentuk tim perumus yang terdiri dari Mh. Isnaeni, M Supangat, Murbantoko, Lo Ginting dan Sabam Sirait. Tim perumus menghasilkan “Pernyataan Bersama” yang ditanda tangani oleh ketua partai masing-masing, yakni Hardi PNI, M Siregar Parkindo, VB Da Costa Partai Katolik, achmad sukarmadidjaja IPKI dan Sukarni Murba. Pada tanggal 12 Maret 1970 kembali dilakukan pertemuan dengan Presiden Soeharto yang didampingi oleh Brigjen Sudjono Humardani dan Brigjen Sudharmono. Dari pihak partai politik hadir Hardi dan Gde Djakse PNI, Achmad Sukarmadidjaja dan M Supangat IPKI, Maruto Nitimihardjo Murba, VB Da Costa dan Lo Ginting Partai Katolik serta M Siregar dan Sabam Sirait Parkindo. Pada tanggal 24 Maret 1970 para pemimpin parpol tersebut kembali melakukan pertemuan di ruang kerja Wakil Ketua MPRS, M Siregar. Maksud pertemuan tersebut adalah untuk memperjelas keberadaan kelompok yang telah dibentuk, baik nama, sifat, pengorganisasian dan program. Hasil pertemuan tersebut akhirnya disepakati nama “Kelompok Demokrasi Pembangunan” dan dikukuhkan melalui SK No. 42/KD/1972, tanggal 24 Oktober 1972. Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pada tanggal 10 Januari 1973 tepat jam dalam pertemuan Majelis Permusyawaratan Kelompok Pusat MPKP yang mengadakan pembicaraan di Kantor Sekretariat PNI di Jalan Salemba Raya 73 Jakarta, Kelompok Demokrasi dan Pembangunan melaksanakan fusi 5 Partai Politik menjadi satu wadah Partai yang bernama Partai Demokrasi Indonesia meskipun pada awal fusi sebenarnya muncul 3 tiga kemungkinan nama untuk fusi menjadi Partai Demokrasi Pancasila Partai Demokrasi Pembangunan Partai Demokrasi Indonesia Dalam anggaran dasarnya tujuan partai ini adalah Tegaknya kemerdekaan dan kedaulatan Negara Republik Indonesia yang penuh sebagai Negara Kesatuan dan Negara Hukum yang demokratis Terwujudnya masyarakat adil dan makmur dengan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa Terwujudnya ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial Sedangkan pokok usaha partai ialah Mendidik, mencerdaskan dan menyadarkan rakyat sehingga menjadi insan Pancasilais sejati Mempersiapkan konsepsi-konsepsi yang bernilai dalam segala bidang kegiatan kemasyarakatan, bangsa dan negara, dalam dan luar negeri Memperjuangkan terlaksananya konsepsi-konsepsi tersebut di atas serta berpartisipasi secara aktif dan efektif dalam pelaksanaan pembangunan yang demokratis, seimbang dan progresif. Setelah mendapat restu Presiden Soeharto tanggal 18 Juni 1973 dan Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono IX tanggal 19 Juni 1973, DPP PDI melaksanakan Musyawarah Nasional Munas. Kongres I PDI berlangsung dari tanggal 12 – 13 April 1976. Pelaksanaan Kongres I ini sempat tertunda-tunda akibat adanya konflik internal. Di dalam Kongres I ini intervensi pemerintah sangat kuat, pemerintah memplot Sanusi Hardjadinata agar terpilih. Dan hasilnya Sanusi Hardjadinata terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum DPP PDI. Susunan DPP hasil Kongres I yang susunan personalianya sudah disempurnakan atas kesepakatan antara Mh Isnaeni dan Sunawar. Kongres II dilaksanakan pada tahun 1981 di Jakarta, meskipun ada penolakan dari “Kelompok Empat” Usep, Abdul Madjid, Walandauw dan Zakaria Ra’ib yang mengajukan keberatan atas penyelenggaraan Kongres II kepada pemerintah. Namun Kongres II PDI tetap berlangsung pada tanggal 13-17 Januari 1981. Di dalam Kongres II ini campur tangan pemerintah Orde Baru semakin kuat. Di dalam Kongres II PDI menghasilkan kesepakatan-kesepakatan diantara partai-partai pendukung PDI yang berkonflik. Kongres II PDI akhirnya menyepakati bahwa fusi telah tuntas. Pasca Kongres II PDI konflik internal masih terjadi yaitu perselisihan antara Hardjanto dengan Sunawar. Kelompok Hardjanto mendesak diselenggarakannya Kongres Luar Biasa sedangkan Kubu Sunawar hanya menghendaki Munas. Kubu Sunawar menginginkan Kongres III PDI diselenggarakan setelah pemilu 1987, sementara kubu Hardjanto menginginkan sebelum Pemilu. Akhirnya Kongres III PDI diselenggarakan sebelum Pemilu yaitu pada tanggal 15-18 April 1986 di Wisma haji Pondok Gede, Jakarta. Kongres III dapat diselenggarakan karena Sunawar Soekawati meninggal dunia. Di dalam Kongres ini semaki menegaskan kuatnya ketergantungan PDI pada Pemerintah. Kongres III PDI gagal dan menyerahkan penyusunan pengurus kepada Pemerintah. Konflik internal terus berlanjut sampai dengan dilaksanakannya Kongres IV PDI di Medan. Kongres IV PDI diselenggarakan tanggal 21-25 Juli 1993 di Aula Hotel Tiara, Medan, Sumatera Utara dengan peserta sekitar 800 orang. Dalam Kongres tersebut muncul beberapa nama calon Ketua Umum yang akan bersaing dengan Soerjadi, yakni Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono, Soetardjo Soerjogoeritno dan Tarto Sudiro, kemudian muncul nama Ismunandar yang merupakan Wakil Ketua DPD DKI Hardjono saat itu disebut-sebut sebagai kandidat kuat yang didukung Pemerintah. Tarto Sudiro maju sebagai calon Ketua Umum didukung penuh oleh Megawati Soekarnoputri. Saat itu posisi Megawati belum bisa tampil mengingat situasi dan kondisi politik masih belum memungkinkan. Kongres IV PDI di Medan dibuka oleh Presiden Soeharto dan acara tersebut berjalan lancar. Namun beberapa jam kemudian acara Kongres menjadi ricuh karena datang para demonstran yang dipimpin oleh Jacob Nuwa Wea mencoba menerobos masuk ke arena sidang Kongres namun dihadang satuan Brimob. Acara tetap berlangsung sampai terpilihnya kembali Soerjadi secara aklamasi sebagai Ketua Umum, namun belum sampai penyusunan kepengurusan suasana Kongres kembali ricuh karena aksi demonstrasi yng dipimpin oleh Jacob Nuwa Wea berhasil menerobos masuk ke arena Kongres. Kondisi demikian membuat pemerintah mengambil alih melalui mendagri Yogie S Memed mengusulkan membentuk caretaker. Dalam rapat formatur yang dipimpin Latief Pudjosakti Ketua DPD PDI jatim pada tanggal 25-27 Agustus 1993akhirnya diputuskan susunan resmi caretaker DPP PDI. Setelah gagalnya Kongres IV PDI yang berlangsung di Medan, muncul nama Megawati Soekarnoputri yang diusung oleh warga PDI untuk tampil menjadi Ketua Umum. Megawati Soekarnoputri dianggap mampu menjadi tokoh pemersatu PDI. Dukungan tersebut muncul dari DPC berbagai daerah yang datang kekediamannya pada tanggal 11 September 1993 sebanyak lebih dari 100 orang yang berasal dari 70 DPC. Mereka meminta Megawati tampil menjadi kandidat Ketua Umum DPP PDI melalui Kongres Luar Biasa KLB yang digelar pada tanggal 2-6 Desember 1993 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya. Dukungan terhadap Megawati semakin kuat dan semakin melejit dalam bursa calon Ketua Umum DPP PDI. Muncul kekhawatiran Pemerintah dengan fenomena tersebut. Pemerintah tidak ingin Megawati tampil dan untuk menghadang laju Megawati ke dalam bursa pencalonan Ketua Umum, dalam acara Rapimda PDI Sumatera Utara tanggal 19 Oktober 1993 yang diadakan dalam rangka persiapan KLB muncul larangan mendukung pencalonan Megawati. Kendati penghadangan oleh Pemerintah terhadap Megawati untuk tidak maju sebagai kandidat Ketua Umum sangat kuat, keinginan sebagian besar peserta KLB untuk menjadikan Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI tidak dapat dihalangi hingga akhirnya Megawati dinyatakan sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1993-1998 secara de facto. Untuk menyelesaikan konflik PDI, beberapa hari setelah KLB, Mendagri bertemu Megawati, DPD-DPD dan juga caretaker untuk menyelenggarakan Munas dalam rangka membentuk formatur dan menyusun kepengurusan DPP PDI. Akhirnya Musyawarah Nasional Munas dilaksanakan tanggal 22-23 Desember 1993 di Jakarta dan secara de jure Megawati Soekarnoputri dikukuhkan sebagai Ketua Umum DPP PDI. Dalam Munas ini dihasilkan kepengurusan DPP PDI periode 1993-1998. Berakhirnya Munas ternyata tidak mengakhiri konflik internal PDI. Kelompok Yusuf Merukh membentuk DPP PDI Reshuffle walau tidak diakui oleh Pemerintah namun kegiatannya tidak pernah dilarang. Disamping itu kelompok Soerjadi sangat gencar melakukan penggalangan ke daerah-daerah dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan menggelar Kongres. Dari 28 pengurus DPP PDI, 16 orang anggota DPP PDI berhasil dirangkulnya untuk menggelar Kongres. Ketua Umum DPP PDI, Megawati Soekarnoputri menolak tegas diselenggarakannya “Kongres”, kemudian pada tanggal 5 Juni 1996, empat orang deklaratir fusi PDI yakni Mh Isnaeni, Sabam Sirait, Abdul Madjid dan Beng Mang Reng Say mengadakan jumpa pres menolak Kongres. Kelompok Fatimah Achmad yang didukung oleh Pemerintah tetap menyelenggarakan Kongres pada tanggal 2-23 Juni 1996 di Asrama Haji Medan dengan didukung penjagaan yang sangat ketat dari aparat keamanan lengkap dengan panser. Pagar Asrama Haji tempat kegiatan berlangsung ditinggikan dengan kawat berduri setinggi dua meter. Disamping itu di persimpangan jalan dilakukan pemeriksaan Kartu Tanda Penduduk terhadap orang-orang yang melintas. Warga PDI yang tetap setia mendukung Megawati demonstrasi secara besar- besaran pada tanggal 20 Juni 1996 memprotes Kongres rekayasa yang diselenggarakan oleh kelompok Fatimah Achmad, demontrsi itu berakhir bentrok dengan aparat dan saat ini dikenal dengan “Peristiwa Gambir Berdarah”. Meskipun masa pendukung Megawati yang menolak keras Kongres Medan, namun Pemerintah tetap mengakui hasil Kongres tersebut. Pemerintah mengakui secara formal keberadaan DPP PDI hasil Kongres Medan dan menyatakan PDI hasil Kongres Medan sebagai peserta Pemilu tahun 1997. Tanggal 25 Juli 1996 Presiden Soeharto menerima 11 pengurus DPP PDI hasil Kongres Medan yang dipimpin oleh Soerjadi selaku Ketua Umum dan Buttu Hutapea selaku Sekretaris Jenderal. Hal ini semakin membuat posisi Megawati dan para pengikutnya semakin terpojok. Masa pendukung Megawati mengadakan “Mimbar Demokrasi” dihalaman Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro hingga pada tanggal 27 Juli 1996, kantor DPP PDI diserbu oleh ratusan orang berkaos merah yang bermaksud mengambil alih kantor DPP PDI. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Peristiwa “Sabtu Kelabu 27 Juli” yang banyak menelan korban jiwa. Pasca peristiwa 27 Juli, Megawati beserta jajaran pengurusnya masih tetap eksis walaupun dengan berpindah-pindah kantor dan aktivitas yang dilakukan dibawah pantauan Pemerintah. Pada Pemilu 1997 Megawati melalui Pesan Hariannya menyatakan bahwa PDI dibawah pimpinannya tidak ikut kampanye atas nama PDI. Pemilu 1997 diikuti oleh PDI dibawah kepemimpinan Soerjadi dan hasil Pemilu menunjukan kuatnya dukungan warga PDI kepada Megawati karena hasil Pemilu PDI merosot tajam dan hanya berhasil meraih 11 kursi DPR. Tahun 1998 membawa angin segar bagi PDI dibawah kepemimpinan Megawati. Di tengah besarnya keinginan masyarakat untuk melakukan reformasi politik, PDI dibawah kepemimpinan Megawati kian berkibar. Pasca Lengsernya Soeharto, dukungan terhadap PDI dibawah kepemimpinan Megawati semakin kuat, sorotan kepada PDI bukan hanya dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri. Pada tanggal 8-10 Oktober 1998, PDI dibawah kepemimpinan Megawati menyelenggarakan Kongres V PDI yang berlangsung di Denpasar Bali. Kongres ini berlangsung secara demokratis dan dihadiri oleh para duta besar negara sahabat. Kongres ini disebut dengan “Kongres Rakyat”. Karena selama kegiatan Kongres berlangsung dari mulai acara pembukaan yang diselenggarakan di lapangan Kapten Japa, Denpasar sampai acara penutupan Kongres, jalan-jalan selalu ramai dipadati warga masyarakat yang antusias mengikuti jalannya Kongres tersebut. Pada tanggal 8-10 Oktober 1998, PDI dibawah kepemimpinan Megawati menyelenggarakan Kongres V PDI yang berlangsung di Denpasar Bali. Kongres ini berlangsung secara demokratis dan dihadiri oleh para duta besar negara sahabat. Kongres ini disebut dengan “Kongres Rakyat”. Karena selama kegiatan Kongres berlangsung dari mulai acara pembukaan yang diselenggarakan di lapangan Kapten Japa, Denpasar sampai acara penutupan Kongres, jalan-jalan selalu ramai dipadati warga masyarakat yang antusias mengikuti jalannya Kongres tersebut. Di dalam Kongres V PDI, Megawati Soekarnoputri terpilih kembali menjadi Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003 secara aklamasi. Didalam Kongres tersebut, Megawati diberi kewenangan khusus untuk mengambil langkah-langkah organisatoris dalam rangka eksistensi partai, NKRI dan UUD 1945, kewenangan tersebut dimasukan di dalam AD-ART PDI. Meskipun pemerintahan sudah berganti, namun yang diakui oleh Pemerintah adalah masih tetap PDI dibawah kepemimpinan Soerjadi dan Buttu Hutapea. Oleh karenanya agar dapat mengikuti Pemilu tahun 1999, Megawati mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan pada tanggal 1 Februari 1999 yang disahkan oleh Notaris Rakhmat Syamsul Rizal, kemudian dideklarasikan pada tanggal 14 Februari 1999 di Istoran Senayan Jakarta. E. Koalisi Partai PDI Pada Masa Orde Baru 1. Partai Nahdatul Ulama NU Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor. NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk Kembali ke Khittah 1926’ yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi. Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR. 2. Parmusi Parmusi disahkan berdirinya melalui Keputusan Presiden No. 70 tanggal 20 Februari 1968, kemudian diangkatlah sebagai ketua Umum Djarnawi Hadikusumo dan sekretaris umumnya Drs. Lukman Harun, keduanya adalah aktivis Muhammadiyah. Didalam tubuh Parmusi ini terjadi banyak sekali perbedaan yang sangat runcing hingga menyebabkan terjadi konflik. Akhirnya pemerintah melalui kepresnya tanggal 20 November 1970, kembali campurtangan dengan menunjuk tokoh Muhammadiyah yang dinilai kooperatif dengan pemerintah yaitu HMS Mintaredja, saaat itu menjadi menteri sosial dikabinet ORBA. Intervensi yang dilakukan oleh pejabat membuat Parmusi lemah dan rapuh. Dalam pemilu tahun 1971, Parmusi hanya dipilih kurang dari tyiga juta pemilih atau sekitar persen saja. Setelah pemilu tahun 1971 pemerintah mewajibkan partai untuk melakukan fusi partai politik atau restrukturisasi, penggabungan,penyedcrhanaan partai-partai politik di Indonesia Parmusi dan partai partai Islam lainnya berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan PPP. 3. PSII PSII pecah menjadi beberapa karena perbedaap pendapat mengenai partai. Pada Pemilu 1955 PSII menjadi peserta dan mendapatkan 8 delapan kursi parlemen. Kemudian pada Pemilu 1971 pada zaman Orde Baru, PSII di bawah kepemimpinan H. Anwar Tjokroaminoto kembali menjadi peserta bersama sembilan partai politik lainnya dan berhasil mendudukkan wakilnya di DPRRI sejumlah 12 dua belas orang. 4. Perti Persatuan Tarbiyah Islamiyah Perti adalah nama sebuah organisasi massa Islam nasional yang berbasis di Sumatera Barat. Organisasi ini didirikan pada 20 Mei 1930 di Sumatera Barat, dan berakar dari para ulama Ahlussunnah wal jamaah. Kemudian organisasi ini meluas ke daerah-daerah lain di Sumatera, dan juga mencapai Kalimantan dan Sulawesi. Perti ikut berjuang di kancah politik dengan bergabung ke dalam GAPI dalam aksi Indonesia Berparlemen, serta turut memberikan konsepsi kenegaraan kepada Komisi Visman. Setelah kemerdekaan Perti menjadi partai politik. Dalam Pemilihan Umum 1955 Perti mendapatkan empat kursi DPR-RI dan tujuh kursi Konstituante. Setelah Konstituante dan DPR hasil Pemilu dibubarkan oleh Presiden Soekarno, Perti mendapatkan dua kursi di DPR-GR. Dua tokoh kunci Perti juga pernah dipercaya menjabat menteri negara pada masa pemerintahan Soekarno. Kedua ulama tersebut adalah Sirajuddin Abbas sebagai Menteri Keselamatan Negara RI dan Rusli Abdul Wahid sebagai Menteri Negara Urusan Umum dan Irian Barat. Pada masa Orde Baru Perti bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan. F. Sejarah Berdirinya Partai PPP Partai Persatuan Pembangunan Partai Persatuan Pembangunan PPP merupakan partai gabungan yang terdiri dari 4 partai besar yang berbasis keagamaan yaitu Partai Islam. Partai Persatuan Pembangunan atau yang dikenal dengan PPP ini berdiri sejak 5 Januari 1973, PPP lahir karena adanya fusi pengerucutan partai dalam pemilu. Fusi ini menjadi simbol kekuatan PPP, yaitu partai yang mampu mempersatukan berbagai faksi dan kelompok dalam Islam. Adanya fusi ini adalah untuk menyederhanakan sistem partai yang akan melaksanakan pemilu pada masa Orde Baru. 4 Partai Islam yang tergabung didalam PPP adalah Partai Nadhlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia Parmusi, Partai Syarikat Islam Indonesia PSII, dan Partai Islam Perti. PPP didirikan oleh lima deklarator yang merupakan pimpinan empat Partai Islam peserta Pemilu 1971 dan seorang ketua kelompok persatuan pembangunan, semacam fraksi empat partai Islam di DPR. Para deklarator itu adalah KH Idham Chalid, Ketua Umum PB Nadhlatul Ulama; Syafaat Mintaredja, SH, Ketua Umum Partai Muslimin Indonesia Parmusi;Haji Anwar Tjokroaminoto, Ketua Umum PSII;Haji Rusli Halil, Ketua Umum Partai Islam Perti; dan Haji Mayskur, Ketua Kelompok Persatuan Pembangunan di Fraksi DPR. PPP memiliki identitasnya sendiri yaitu berwarna hijau dengan lambing Ka’bah. Warna partai pada saat pemilu memang dinilai sangat sensitive, identitas warna tidak hanya merupakan soal cita-cita, ideology atau filosofi yang harus diperjuangkan dan dinamika kehidupan partai itu sendiri. Sejak berlangsungnya fusi partai, bisa dikatakan PPP bukan merupakan partai mayoritas. Kenyataan ini sungguh sangat menyedihkan, bagaimana tidak?Indonesia yang memiliki jumlah muslim yang banyak tetapi partai islam lah yang bukan menjadi partai mayoritas. Strategi fusi partai, secara logika akan dapat dilihat bahwa partai yang ada akan menjadi mayoritas. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ternyata fusi partai adalah bagian dari strategi untuk memunculkan friksi dalam tubuh partai. Dengan adanya fusi, maka dalam setiap tubuh partai pasti ada banyak kelompok dan kepentingan. [1]Fusi ini juga merupakan strategi politik yang banyak menyebabkan timbulnya konflik. [1] Zainuddin Fananie, Perlawanan Rakyat Terhadap Hegemoni Kekuasaan , Surakarta Muhammadiyah University Press, 1999, hlm 86 Related posts 0 . 274 23 237 64 281 312 379 305

dua partai hasil penyederhanaan partai pada masa orde baru